TELUR PENYU, Barang langka seharga eceran

Meja berdiri sederhana, dengan kursi seadanya, ditemani payung pelindung dari terik matahari siang. Pakaian biasa dengan ekpresi datar menunggu dagangannya yang bertumpuk di meja. Di depan meja bertulis harga Rp 8.000,- untuk harga perbutir dagangannya. Murah? Mahal? Bagi saya sangat murah, bahkan terlalu murah. Kenapa? Telur penyu adalah barang dari hewan langka yang hampir punah.

 

Dimanapun di bagian dunia ini, ketika sebuah barang berlabel “langka”, pastilah harganya melonjak tinggi dan terbatas serta perlu perjuangan untuk mendapatkannya. Bahkan seringkali pasar gelap bermain untuk barang-barang yang ilegal diperdagangkan. Ditambah lagi dengan kasiat, manfaat, atau kelebihan lain yang dimiliki benda tersebut.

 

Bagaimana dengan telur penyu? Hewan yang hampir punah ini tentunya tergolong dalam klasifikasi langka. Maka, sudah semestinya telurnya pun tergolong barang langka. Sebagaimana barang langka lainnya. Seharusnya harga yang ditawarkan relatif tinggi. Selain itu, untuk barang ilegal sekelas telur penyu, harganya tentunya harus lebih dari sekedar tinggi di black market. Tapi pada kenyataannya justru dijual di eceran dengan harga yang sangat terjangkau. Tempat transaksi pun tidak kalah murah dan eceran. Di Indonesia pada umumnya, dan di daerah saya Kalimantan Selatan pada khususnya, tepi jalan merupakan tempat strategis transaksi “barang langka” ini. Lebih mencengangkan lagi, ilegal dan diperdagangkan di tempat terbuka. Padahal, ke-ilegal-annya sudah tercantum dalam Pasal 21 ayat 2 huruf d dan e juncto Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara dengan denda hingga Rp 100 juta.

 

 

Sumber gambar : http://blogs.uajy.ac.id/

 

 

semua ulasan tersebut bukanlah pernyataan dukungan terhadap perdagangan barang ilegal. Tetapi sebuah gambaran bahwa betapa memprihatinkannya kondisi masyarakat kita dalam menyikapi sesuatu yang langka dan dilarang ternyata diperdagangkan bebas justru di kelas kaki-lima. Lebih tragis lagi, justru menjadi sebuah kegemaran masyarakat Indonesia.

 

Kandungan gizi yang tinggi menjadi alasan konsumsi telur langka ini. Mitosnya, konsumsi telur penyu dapat meningkatkan kesuburan dan vitalitas serta manfaat kesehatan lainnya. Sehingga, selain rasa yang lezat bagi lidah, mitos tersebut menjadi pemicu konsumsi “besar” bagi masyarakat. Kenapa saya tekankan dengan kata mitos? Karena tidak ada hasil penelitian pasti yang menyatakan manfaat apapun dari telur penyu terhadap kesehatan. Faktanya, kontradiksi justru ditunjukan pada hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Health Perspective di tahun 2009 dengan judul “Dangerous Delicacy’-Contaminated Sea Turtle Eggs Pose a Potential Health Threath”. Hasil tersebut menunjukan bahwa akibat konsumsi dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker dan berbagai penyakit berbahaya lain.

 

Hasil riset lainnya menunjukan bahwa, telur hewan purba ini memiliki kandungan kolesterol yang sangat tinggi. Dimana, kandungan kolesterol satu telur penyu setara dengan kolesterol pada 20 telur ayam. Akibat yang terjadi tentu dapat diprediksi, yaitu jantung dan stroke. Kandungan yang ditemukan pada riset oleh WHO adalah Polychlorinated bifenil yang jumlahnya 300 kali kebih banyak dari standar ADI (acceptable Daily Intake atau asupan harian yang dapat diterima tubuh) yang dapat mengakibatkan kadar racun tinggi pada tubuh yang dapat memicu kanker.

 

Dampak lainnya, sebagaimana yang diungkapkan WWF, tentunya mengancam kestabilan ekosistem. Dimana, salah satu hewan purba hampir punah ini hanya mampu bertelur setelah berusia 30 tahun. Diantara 60-130 telur yang dihasilkan, yang mampu bertahan setelah menetas tidak sampai seperempatnya. Sedangkan beberapa jenis penyu, adalah salah satu hewan khas dari Indonesia.

 

Maka, mengutip ungkapat WWF, “mengkonsumsi telur penyu hanya membahayakan kesehatan dan ekosistem alam” khususnya alam negeri tercinta kita Indonesia.

Real post:
https://dienny.webs.com/apps/blog/show/43223234-telur-penyu-barang-langka-seharga-eceran

Pustaka:

Andar, Rusli & C. Hitipeuw., 2012. Turtle egg consumption poses risks to both human health and marine ecosystem. WWF Indonesia.

http://www.wwf.or.id/en/news_facts/new_articles/?24441/Konsumi-telur-penyu-ancam-kesehatan-manusia-dan-keseimbangan-laut

Ninulia, P.P. 2014. Penyu dan pergumulannya dalam bertahan hidup. We must doing something!. http://blogs.uajy.ac.id/pradhyaparamitha/2014/12/05/penyu-dan-pergumulannya-dalam-bertahan-hidup-we-must-doing-something/

Tibbets, John. 2009. Dangerous Delicacy-Contaminated Sea Turtle Eggs Pose a Potential Health Threath. Journal of Environmental Health Perspective.